Aku benar-benar lemas mendengar keputusan pihak manajemen perusahaan
hari ini. Bulan lalu perusahaan sudah menyampaikan rencananya untuk
mengurangi sejumlah karyawan, termasuk pengemudi. Hari ini aku tahu aku
termasuk yang kena PHK.
Istriku tak banyak bicara ketika kutunjukkan surat pemutusan hubungan
kerja itu. Ia hanya memandangi bayi kami yang baru berusia 3 bulan.
Terbayang di benak kami bagaimana cara menghidupi bayi ini tanpa
pekerjaan. Pesangon yang tak seberapa jumlahnya pasti tak akan bertahan
lama.
Selama seminggu penuh aku menyibukkan diri dengan iklan lowongan
pekerjaan di koran dan mendatangi berbagai macam perusahaan untuk
mencari kerja. Hasilnya nihil. Untungnya sorenya istriku membawa kabar
gembira. Pak Sulaiman, lelaki tua yang tinggal tak jauh dari rumah kami
kena stroke. Ia harus istirahat total dan berhenti menyupir untuk
majikannya. Kata istriku, majikan pak Sulaiman butuh supir baru segera.
Istriku mengangsurkan secarik kertas bertuliskan nama dan alamat majikan
Pak Sulaiman.
Esok paginya aku langsung meluncur ke rumah Pak Tan, mantan majikan Pak
Sulaiman. Rumah Pak Tan luar biasa besar dan mewah. Pembantu Pak Tan
membukakan pintu gerbang dan mempersilakan aku menunggu di beranda.
Sejenak kemudian Pak Tan menemuiku. Ia seorang lelaki Cina tua, bos
sebuah perusahaan peralatan masak di Surabaya.
“Kamu tetangga Pak Sulaiman?” Tanya Pak Tan.
“Benar, Pak. Nama saya Andi”
“Kamu kelihatan muda sekali. Berapa umurmu?” Tanya Pak Tan.
“24tahun, Pak”
“Sudah lama jadi supir?”
“3 tahun, Pak”
“Oke, Andi. Langsung saja. Kamu akan menjadi supir pribadi istri saya.
Istri saya adalah Area Manager perusahaan. Ia harus banyak berkeliling
ke cabang-cabang perusahaan di kota-kota lain di Jawa Timur dan di
Indonesia,” jelas Pak Tan. “Gaji tiga bulan pertama Rp 1,2 juta.
Setuju?”
“Setuju, Pak”
“Kamu mulai kerja hari ini!” kata Pak Tan.
***
Seminggu sudah aku menjadi supir Nyonya Tan. Dari karyawan kantor, aku
tahu nama Nyonya Tan adalah Yena, sebuah nama yang elok. Di kantor, para
karyawan demikian segan dan hormat padanya, dan tak pernah ada yang
bicara buruk tentang perempuan luar biasa ini.
Di mobil, ketika tak sedang menelepon, Bu Yena tak banyak bicara.
Seperti pagi ini dalam perjalanan ke Malang, menuju ke kantor cabang. Ia
hanya bicara beberapa patah kata bilamana aku terlalu cepat atau
terlalu pelan mengemudi.
Kami sampai di Malang sebelum tengah hari. Bu Yena langsung memimpin
rapat para karyawan. Aku sendiri langsung menuju warung makan di depan
kantor. Setelah 3 jam menunggu, perutku mulas. Pasti itu karena sambal
pecel lele yang kumakan di warung tadi. Aku mencari WC. Kata karyawan
kantor, WC supir ada di bagian belakang. Aku segera menyelinap ke
belakang mencari WC yang dimaksud, melewati lorong-lorong sempit
tumpukan stok barang perusahaan.
Setelah selesai dengan urusanku di kamar kecil, aku bermaksud kembali ke
depan melewati lorong-lorong sempit itu. Dinding salah satu lorong itu
ternyata adalah kaca salah satu ruang kantor. Tirai dinding kaca itu
terbuka sedikit, dan tak sengaja dari celah kecil itu aku melihat sebuah
adegan seru, yang sudah pasti bukan kegiatan kantoran pada umumnya.
Seorang lelaki muda sedang asyik memeluk, mencium dan dengan lidahnya
menelusuri dada perempuan yang aku kenal betul, yakni Bu Yena. di atas
sebuah sofa di ruang kantor kepala pemasaran cabang Malang. Bagian atas
blus Bu Yena terbuka lebar, menampakkan dadanya yang penuh di balik BH
yang terurai sebelah. Bu Yena tampak begitu menikmati itu. Kepalanya
terdongak dengan mata terpejam bibirnya terbuka. Kalau tak ada dinding
kaca ini, aku pasti bisa mendengar desah-desah nikmatnya. Aku terpaku
menikmati adegan kecil di celah sempit itu. Tak sengaja lututku
menyentuh tumpukan stok barang pecah belah. Setumpuk piring jatuh
berhamburan, menimbulkan suara yang pasti terdengar dari dalam ruangan.
Kulihat aksi Bu Yena dan lelaki itu terhenti seketika. Aku lari menjauh,
tak perlu repot-repot menata ulang piring-piring yang berserakan.
***
Satu jam kemudian Bu Yena keluar dari kantor dan minta balik ke
Surabaya. Aku tak berani banyak bicara dalam mobil. Bu Yena juga tidak,
tapi ia kelihatan santai sekali. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah ia
tahu aku mengintipnya tadi. Dua puluh menit kemudian, masih dalam
perjalaan balik ke Surabaya, ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
“Andi, berapa umurmu?” Tanya Bu Yena tiba-tiba.
“24 tahun, bu”
“Sudah menikah?”
“Sudah, Bu. Saya punya bayi usia 3 bulan”
Tiba-tiba Bu Yena melemparkan satu amplop tebal ke kursi di sebelahku.
Sejumlah lembaran seratus ribuan tampak dari ujung amplop yang terbuka.
“Itu untuk kamu dan anakmu. 5 juta rupiah!” kata Bu Yena.
“Untuk saya?” tanyaku heran.
“Ya, untuk kamu,” tegas Bu Yena.
“Wah, untuk apa ini, ya, bu?” tanyaku tak mengerti. Aku melihatnya dari
kaca spion. Bisa kulihat Bu Yena tersenyum dari kaca itu.
“Ini uang tutup mulut. Aku tahu kamu mengintip aku sedang bermesraan
dengan Alex tadi. Tidak boleh ada yang tahu ini. Kalau Pak Tan tahu, itu
berarti dari kamu. Dan kau pasti akan kehilangan pekerjaan. Kunci
mulutmu dengan uang 5 juta itu, dan kau tetap bisa bekerja. Faham?” ujar
Bu Yena tegas.
Aku terdiam sejenak. Kuberanikan bicara, “Ibu tidak perlu memberi saya
uang itu. Saya akan tutup mulut. Ibu bisa pegang kata-kata saya”
“Tidak! Ambil saja! Dan jangan bicara lagi!” itulah kalimat terakhir bu
Yena. Selebihnya, ia tidak bicara lagi. Besoknya aku menyetorkan uang ke
tabunganku tanpabilang-bilang istriku. Dan selanjutnya, aku menutup
mulut rapat-rapat. Hari-hari berjalan seperti biasa, tak banyak yang
berubah. Yang sedikit berubah adalah suasana di dalam mobil. Belakangan
ini Bu Yena kerap kali bergeser tempat duduk. Kalau biasanya ia duduk
tepat di belakangku, kali ini ia lebih sering bergeser ke kiri. Ia acap
kali mencuri pandang ke arahku dari duduknya di mobil. Entah kenapa ia
begitu. Yang jelas aku tak pernah berani menatapnya dari balik spion.
***
Pagi ini aku mengantar Bu Yena ke bandara Juanda. Ia akan bertugas
memeriksa cabang Bali selama seminggu. Jadi, selama seminggu ini aku
akan stand-by di kantor Pak Tan sebagai sopir cadangan. Tapi selepas
siang sebuah sms masuk ke HP-ku. Itu dari Bu Yena. Bunyinya, : Sopir
cabang Bali sakit. Kamu ke Bali siang ini. Sudah saya kirim uang buat
beli tiket pesawat. Kamu langsung ke kantor Cabang Denpasar”.
Segera aku mendapatkan uang tiket dan alamat kantor Cabang Denpasar dari
kantor Surabaya. Senang juga rasanya naik pesawat untuk pertama
kalinya. 4 jam kemudian aku sudah berada di Kantor Cabang Denpasar.
“Saya lebih nyaman kalau kamu yang nyupir,” kata Bu Yena begitu duduk di
kursi belakang di mobil Cabang Denpasar. “Kamu banyak tahu jalan-jalan
di Denpasar, kan?” tanya Bu Yena.
“Ya, Bu. Saya menempuh SMA saya di sini,” kataku.
“Baiklah, langsung ke Hotel Santika Kuta Beach,” perintah Bu Yena.
Setelah check-in di hotel, aku sempat membawakan barang ke kamar Bu Yena, sebuah kamar cottage tepat di pinggir pantai Kuta.
“Ini uang buat cari hotel kecil di sekitar sini. Mobil kamu bawa.
HP-kamu mesti stand-by. Kalau saya perlu keluar, saya akan telepon,”
kata bu Yena.
“Baik, bu!”
Aku mendapatkan hotel kecil tak jauh dari Santika Kuta Beach. Jam tujuh
malam kurang sedikit, sehabis mandi, dan mengenakan t-shirt, teleponku
bergetar. Bu Yena kirim SMS. “Charger saya ketinggalan di mobil. Bisa
kau antar ke hotel?” demikian bunyi SMS itu. Aku segera beranjak. Ketika
sampai di hotel, SMS Bu Yena datang lagi, “Kamu sudah sampai hotel?
Bisa langsung antar charger ke kamar saya?”
Dengan charger di tangan, aku bergerak ke bagian belakang hotel dan
mencari cottage bu Yena. Di malam hari suasana cottage itu syahdu benar,
dengan tanaman rindang, lampu redup di seputaran cottage dan deburan
ombak laut tak jauh dari cottage.
Aku mengetuk pintu cottage.
“Masuk saja, tidak dikunci!” terdengar suara Bu Yena. Aku tak berani langsung masuk. Ragu aku berdiri di depan pintu.
“Masuk, Andi!” suara Bu Yena agak meninggi, setengah memerintah.
Aku mendorong pintu. Bu Yena berdiri di dekat jendela yang menghadap ke
pantai dengan segelas soft-drink dengan rambut terurai dan senyum manis.
Berdebar aku melihatnya. Tank-top merah ketat yang dikenakan membiarkan
lekuk-lekuk dadanya terlihat jelas. Belahan dada yang indah itupun
tidak tersembunyikan. Aku menatap kakinya yang jenjang. Shorts putih
yang teramat pendek itu menyajikan sepasang paha mulus yang kencang.
“Ini chargernya, Bu Yena. Saya taruh sini, ya!” kataku gugup.
Bu Yena berjalan menghampiriku. Ya ampun! Cara berjalan itu, demikian menggetarkan dada. Seksi nian orang satu ini.
“Kamu kelihatan gugup,” ujar Bu Yena tenang, menatapku dengan pandangan
penuh. Tak pernah ia memandangku sedemikian rupa sebelumnya.
“Lihat sekeliling. Sebuah kamar yang nyaman dengan lampu redup, dan
suara debur ombak. Sempurna sekali, bukan?” kata Bu Yena dalam
kerlingnya. Aroma farfum mahal itu menyergap hidungku. Aku tak tahu Bu
Yena bicara apa, tapi aku menjawabnya.
“Ya, benar. Sempurna,” kataku. Aku mundur beberapa langkah. Bu Yena makin dekat ke arahku.
“Apa yang kau pikirkan sekarang?” tanya Bu Yena. Wajahnya tak jauh dari wajahku,
“Saya….eh…saya, harus segera balik. Saya tidak ingin mengganggu kesempurnaan suasana ini,” kataku.
“Begitu?” kata Bu Yena pelan, meletakkan gelas di meja di sebelahnya.
“Kalau begitu, balikkan badan dan tutup pintu itu,” katanya kemudian.
Aku menuruti perintahnya. Aku membalikkan badan, dan menutup pintu.
“Tidak, begitu, Andi. Tutup dari dalam, bukan dari luar!” ujar Bu Yena.
Aku terkejut. “Dari dalam? Maksud Ibu?””
“Ya, dari dalam. Dan kau tetap di sini. Kita cuma berdua di kamar yang
romantis ini. Tidak bisakah kau lihat ranjang itu? Tidak kah kau tahu
kenapa aku memanggilmu ke sini? Tidak bisakah kau lihat betapa aku
menginginkanmu?”
Aku diam terpaku. Tapi ada benda yang mulai terasa mekar di
selangkanganku. Bu Yena mendekatiku dan mengalungkan kedua tangannya ke
leherku. “Pangil aku Yena saja. Bawa aku ke ranjang itu. Aku ingin kamu
cumbui aku. Bercintalah denganku. Aku pingin sekali!”
Belum sempat aku mengucapkan sepatah kata. Bibir Yena telah mendarat di
bibirku. Dilumatnya aku dengan rakus dan beringas. Entah kenapa aku tak
lagi ragu. Kubalas lumatan bibir itu dengan tak kalah beringas. Sungguh
manis dan segar bibir itu. Yena segera melepas kaosku dan melepas
tank-topnya sendiri, membiarkan dada indahnya telanjang. Aku segera
menyergap dada indah itu. Kukulum dan kuhisap habis-habisan puting susu
Yena. Aku yakin itu yang ia suka dan ia mau sekarang. Dan aku benar. Ia
mengerang dan mendesah dan membiarku aku mengeksplorasi dada dan
lehernya dengan bibir dan lidahku. Kukulum lembut puting merah jambu itu
dan kurema-remas dengan ritme yang embut pula. Tubuh Yena bergetar
hebat. Dengan ciuman bertubi-tubi dan dorongan dadanya pula, ia
menggerakkan aku ke arah ranjang dan menindihku dengan gencar, masih
dengan ciumannya yang makin beringas.
“Susuku. Aku mau kau hisap putingku lagi. Telusuri sekujur dadaku. Buat aku nikmat. Buat aku melayang, Andi!”
“Kau akan dapatkan yang kau mau, Yena” kataku tersengal. Kuberi Yena
jilatan-jilatan rakus di puting dan seputaran susunya. Ia membalasanya
dengan gerakan yang sangat terlatih dan terampil. Dibalasnya aku dengan
menghisap dan menggigit kecil putingku. Dan debur ombak pantai Kuta
seperti mendadak membimbing Yena untuk memintaku melepaskan celana
pendek yang dikenakan itu, dan ia tak sabar membantu aku melepaskan
celana jeansku.
“Lepas celanaku, Andi. Lepas dan beri aku kejantananmu,” Yena mendesah
ketika mulai kuraih celana itu untuk kulorotkan. Tempik indah dan manis
perempuan Cina itu menyembul dengan kerumunan rambut halus yang menyemut
di sekitarnya.
“Kamu mau aku menggerayangi ini dengan lidahku?” tanyaku.
“Itu yang aku mau. Do it!” kata Yena. Ia membantu dirinya sendiri
terlentang dan meraih kepalaku. Kubenamkan wajahku di tempik Yena dan
kumainkan lidahku, merangsek sedalam mungkin ke seantero vagina yang
basah dan lapar itu. Yeni merintih, mengerang, mendesah dan mengaduh
nikmat. “Ohhhh! ooouhhhh! Ouuuhhhh, Andiiiii! That’s good. Terussss.
Terusss. Ouuuh!” Yena terus mengerang di antara debur ombak pantai.
Sejenak kemudian, ia mengangkat kepala dan meraih penisku.
“Sekarang kau harus merasakan balasanku,” seloroh Yena. Ia menelan
bulat-bulan penisku dan mengulumnya penuh nikmat. Iapun menarik penisku
maju mundur mulai dari kecepatan rendah, sedang dan kecepatan tinggi
dengan jepitan mulutnya. Aku terengah-engah dibuatnya. Sungguh ahli
perempuan ini memberikan kenikmatan pada penisku. Benar-benar mabuk aku
dibuatnya. Tak sabar lagi aku. Libidoku sudah naik ke ubun-ubun. Aku
menindihnya, menyerang susunya sekali lagi dan membuat Yena
menggelinjang liar di tempat tidur itu. Yena lebih tak sabar lagi. Ia
membetot penisku dan membantuku mencari tempik basahnya. “Senangkan aku,
bahagiakan aku, Andi. Aku mau kamu sejak pertama aku melihat kamu!
“Kamu terlalu banyak meminta, Yena,” kataku. Kubenamkan penisku ke dalam
vaginanya yang basah menantang. Kupompa dengan penuh kelembutan dengan
gerakan yang kusesuaikan dengan debar nafas Yena. Kubiarkan penisku
mencari titik-titik nikmat di vagina Cina seksi ini. Kuberi ia bonus
gigitan-gigitan kecil di puting dan sekujur susunya. Ini membuat Yena
senang bukan main. Tak bisa kujelaskan rintihan, desahan dan erangan
Yena.
Aku dan Yena bercinta semalam suntuk. Yena hanya memberiku istirahat
sejenak sebelum ia mulai menyerang aku lagi. Ia punya banyak teknik
permainan yang membuatku terperangah. Dan ia selalu meminta, meminta dan
meminta. Ini membuat aku harus mengimbanginya terus, berapa kalipun ia
memintanya.
Kami berada di Bali seminggu penuh. Yena pintar bikin alasan untuk tidak
perlu datang ke kantor cabang. Ia hanya mau aku mencumbunya terus dan
terus tiada habis. Pada malam terakhir sebelum balik ke Surabaya, aku
dan Yena bercinta di dalam sleeping-bag selepas tengah malam di pantai
yang sunyi.
Begitu balik ke Surabaya, Yena terus minta aku memuaskannya : di kamar
rumahnya ketika Pak Tan dan seisi rumah sedang keluar, dan di mana saja.
Kami pergi ke hotel di Malang, Jogja, Madiun, Jakarta bahkan Singapura.
Sering pula Yena minta aku mencumbunya di dalam mobil dan dimana saja
ia menjadi horny. Aku tak tahu kapan ini akan berhenti. Sepertinya Yena
tak akan pernah ingin untuk mengakhiri ini semua...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar